Oleh: Muh. Nurhidayat
SEORANG perempuan lansia, Sukmawati Soekarno Putri dikecam oleh jutaan warga muslim Indonesia. Beberapa istilah suci bagi umat muslim, yaitu “syariat Islam”, “cadar”, dan “adzan” diperolok-olok oleh Sukmawati dalam puisinya.
Mungkin ia sendiri juga tidak menduga sebelumnya, bahwa puisi yang dibacakannya pada Indonesia Fashion Week 2018, ternyata dapat menjeratnya sebagai pelaku penistaan agama. Tidak hanya itu, ia juga dapat terjerat pasal ujaran kebencian (hate speech), dan dianggap jauh lebih bodoh daripada Ahok, terpidana penistaan agama pada 2016 silam.
Di berbagai jaringan medsos, ada ribuan puisi ‘balasan’ yang dibuat para netizen untuk menasehati, bahkan mem-bully Sukmawati. Seandainya ayahnya, mantan presiden Soekarno masih hidup, tentu akan sangat malu diperdengarkan puisi terburuk di dunia itu. Sebab Soekarno sendiri—terlepas dari politik nasakom yang diterapkannya—adalah pribadi yang sangat menghormati syariat Islam.
Penistaan agama dalam puisi Sukmawati dapat dipandang sebagai contoh adanya naturalisasi kesombongan para hijab-phobia. Fenomena hijab syar’i, terutama hijab bercadar yang telah menjadi budaya populer di kalangan muslimah negara ini, ternyata tidak disukai oleh segelintir orang.
Ketidaksukaan tersebut sudah lama diungkapkan para hijab-phobia secara lugas. Bukan hanya tidak suka saja, mereka pun aktif woro-woro (mengumumkan) sikapnya agar diikuti oleh para muslimah. Mereka beralasan, bahwa hijab bukanlah ‘dilahirkan’ sendiri oleh budaya asli Indonesia, melainkan hasil dari invasi budaya asing dari Arab.
Meskipun secara terbuka menolak hijab, beberapa tokoh perempuan hijab-phobia ternyata tidak mau disebut anti-Islam. Bahkan mereka mengklaim diri sebagai muslimah taat, yang dilahirkan dari keluarga muslim taat pula. Agar dianggap tidak anti-Islam, tokoh perempuan itu juga ‘berhijab’. Meskipun ‘hijab’ yang dipakai hanyalah kerudung yang sangat tipis dan transparan. Menurut para hijab-phobia, kerudung yang dipakai mereka adalah budaya asli Indonesia.
Ditinjau dari segi syariat, kerudung versi mereka tidak bisa disebut sebagai hijab, apalagi hijab syar’i. Karena kerudung yang dipakai mereka itu tetap memperlihatkan bagian rambut dan leher. Selain itu, bagian dada mereka pun tidak bisa ditutupi. Apalagi biasanya, kerudung tersebut akan dililitkan pada bagian leher (seperti syal) agar tidak nyusahin pemakainya. Dengan demikian, kerudung yang sangat tipis dan transparan itu lebih tepat disebut sebagai hiboob.
Istilah “boob” sendiri diadopsi dari kosakata pasaran dalam bahasa Inggris untuk menyebut (maaf) payudara perempuan. (Dalzell & Victor, 2008).
Kerudung seperti ini memang menjadi identitas kaum muslimah Indonesia tempo doeloe, yang biasanya dipakai sebagai pelengkap baju kebaya dan jarik. Namun jika diteliti, kerudung seperti ini pun juga bukan ‘dilahirkan’ oleh budaya asli Indonesia. Mengapa demikian? Ceritanya sangat panjang!
Sejarah Hijab Syar’i dan Cadar di Indonesia
Pada abad ke-7, wilayah dakwah Islam dapat diperluas oleh pemerintahan khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Sehingga Islam tidak hanya dipeluk oleh masyarakat Arab saja, namun juga dianut oleh masyarakat di luar Arab. Islamisasi wilayah Bumi Syam (kini meliputi Yordania, Suriah, Palestina, dan Libanon) berhasil dilakukan oleh umat muslim yang dipimpin oleh Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Islamisasi di Babilonia (kini Irak) dan Persia (kini Iran) pun juga berhasil dilakasanakan oleh tim Sa’ad bin Abi Waaqqash radhiyallahu ‘anhu. (Iqbal, 2000).
Selain itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhuma ditugaskan khalifah untuk berdakwah ke Nusantara (kini Indonesia) melalui jalur laut. Dakwah Islam yang dilakukan Mu’awiyah disambut baik oleh dua kerajaan besar saat itu, yaitu Aceh dan Kalingga (Jawa Tengah). Pasca kunjungan Mu’awiyah, Aceh dan Kalingga meminta dikirimkan beberapa ulama dari Arab untuk berdakwah di kerajaan masing-masing. (Sastranegara, 2000).
Disebutkan dalam sejarah, raja dan seluruh masyarakat Aceh masuk Islam. Sehingga Aceh dikenal sebagai kerajaan pertama di Nusantara yang menjadi muslim. Sementara itu, Ratu Sima, tokoh perempuan yang memimpin kerajaan Kalingga diketahui tidak masuk Islam.
Namun anak beliau yang menjadi putra mahkota diketahui menjadi muslim. Bahkan pada masa pemerintahan Ratu Sima sendiri, nilai-nilai Islam secara substansial telah dijadikan sebagai hukum kerajaan. Penerapan hukum hudud (seperti hukuman potong tangan) telah diberlakukan kepada adik kandung Ratu Sima sendiri yang diketahui terlibat korupsi. (Sastranegara, 2000).
Kerajaan besar lainnya seperti Sriwijaya (Sumatra Selatan) belum sempat dikunjungi Mu’awiyah. Namun beberapa tahun kemudian, khalifah Umar bin Abdul Azis dikirimi surat diplomatik dari raja Sriwjaya, yaitu Sri Indrawarman. Umar diminta Indrawarman untuk menugaskan beberapa ulama dari Arab yang dapat mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Sriwijaya. (Sastranegara, 2000).
Pada abad ke-7 Islam telah dipeluk oleh sebagian besara masyarakat Nusantara. Dan Islam pun dijadikan sebagai agarma resmi kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sejak saat itu, umat muslim Nusantara dikenal taat menjalankan ajaran agamanya secara kaffah. Sehingga hijab syar’i pun dipakai oleh para muslimah Nusantara.
Beberapa abad kemudian, syariat Islam yang diajarkan para ulama dari madzhab Syafi’i dijadikan sebagai referensi oleh sebagian besar kerajaan di Nusantara. Sehingga dimungkinkan hijab syar’i bercadar juga banyak dipakai oleh para muslimah Nusantara saat itu. Sebab menurut Madzhab Syafi’i, seluruh tubuh muslimah (termasuk wajah dan kedua telapak tangan) dianggap sebagai aurat, sehingga harus ditutupi.
Dengan demikian, hijab dapat dipastikan memang bukanlah budaya asli Nusantara. Namun dikenalnya hijab oleh muslimah negeri ini bukanlah dari hasil invasi (penjajahan) budaya Arab. Hijab para muslimah negeri ini dihasilkan dari akulturasi (‘perkawinan’) budaya Arab – Nusantara. Hijab, seperti ajaran Islam lainnya, dikenal luas oleh masyarakat Nusantara melalui dakwah. Dan dakwah sendiri harus disampaikan melalui perdamaian. Umat muslim dilarang mendakwahkan Islam melalui pemaksaan, apalagi penjajahan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran : 159)
Sejarah Kerudung Transparan di Indonesia
Hijab telah dijadikan sebagai busana dan identitas kaum muslimah Nusantara selama lebih-kurang 9 abad. Sampai akhirnya, pada abad ke-16, Nusantara mulai dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda. Selama 350-an tahun, penjajah Belanda terus dilawan oleh masyarakat Nusantara yang sebagian besar muslim. Perlawanan tersebut umumnya dipimpin oleh para ulama di berbagai kerajaan. Bukan hanya ulama pria saja, banyak ulama wanita yang dicatat sejarah berhasil memimpin masyarakat untuk mengusir penjajah Belanda.
Salah satu ulama wanita yang ditakuti penjajah adalah Malahayati dari kerajaan Aceh Darussalam. Beliau juga dicatat sebagai wanita pertama di dunia yang menjabat sebagai panglima tertinggi angkatan laut, dengan pangkat laksamana (admiral). Hingga kini belum ada satupun tentara perempuan di dunia yang mencapai karier militer seperti Malahayati, (Nurhidayat, 2008).
Selain Malahayati, Tiyahahu dari Jazirah al-Mulk (Maluku) juga dicatat sejarah sebagai ulama wanita yang memimpin perlawanan kepada penjajah Belanda. Tiyahahu dikenal sebagai perwira angkatan darat negeri Jazirah al-Mulk. Negeri itu dipimpin seorang ulama besar bernama Ahmad Matulessy. Matulessy disebut oleh penjajah Belanda sebagai Pattimura. Malahayati dan Tiyahahu dikenal sebagai ulama muslimah berhijab syar’i yang memiliki banyak santriwati yang berhijab syar’i pula.
Mengingat begitu besarnya semangat juang yang dimiliki umat muslim, termasuk para muslimah berhijab dalam melawan penjajah, maka seorang penasehat penjajah bernama Snouck Hurgonye, menyarankan kepada Belanda, agar umat muslim dijauhkan dari ajaran Islam yang sesungguhnya. (Husaini, 2002).
Atas saran Hurgonye, program de-Islamisasi pun diterapkan oleh penjajah Belanda. Umat muslim dijauhkan dari ajaran Islam secara kaffah. Salah satunya, para muslimah Nusantara dilarang berhijab. Degan demikian, pelarangan inilah yang dianggap sebagai represivitas terhadap hijab pertama di Nusantara (cikal bakal Indonesia).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Oleh Belanda, kaum muslimah negeri ini pun diperkenalkan dengan syal yang sangat tipis dan transparan sebagai pengganti hijab. Syal seperti ini biasa dipakai perempuan Belanda ketika akad nikah di gereja. Kaum muslimah pun semakin dipersulit geraknya dengan diharuskan memakai baju kebaya dan jarik yang sangat ketat. Sehingga ada anggapan di kalangan pemerhati masalah gender, betapa mudahnya pelecehan seksual yang dialami kaum perempuan pada zaman penjajah, karena mereka memakai baju yang super ketat tersebut. (Syah, 1999)
Sejak itulah kerudung tempo doeloe dipakai para muslimah, dan menjadi budaya Nusantara. Dengan demkian, justru kerudung seperti itulah yang dikenal sebagai hasil invasi (penjajahan) budaya asing dari Belanda.
Penolakan hijab oleh para hijab-phobia dianggap sebagai naturalisasi kesombongan. Artinya, kesombongan dipromosikan sebagai hal yang mulia, dengan alasan nasionalisme yang salah kaprah. Padahal sejatinya kesombongaan dinilai sebagai akhlaq tercela yang paling besar dosanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidak akan bisa masuk ke dalam Surga seseorang yang di dalam hatinya ada setitik kesombongan.” (HR. Muslim)
Lagipula, hijab-phobia merupakan contoh materi pemikiran sekuler dan liberal. Kedua pemikiran ini yang diusung para hijab-phobia merupakan aliran sesat, yang juga bukan budaya asli Indonesia. Pemikiran ini merupakan hasil invasi pemikiran dari Barat, (Jaiz, 2001).
Bangsa-bangsa Barat sadar, bahwa Indonesia sangat sulit untuk kembali dijajah secara fisik. Maka mereka pun melancarkan invasi (penjajahan) pemikiran, dengan memanfaatkan para londo ireng, yaitu orang-orang pribumi sebagai ‘kaki tangannya’.
Para londo ireng mengklaim bahwa mereka lah orang yang paling agamis dan paling nasionalis. Padahal seseorang yang agamis dan nasionalis sejati dipastikan tidak akan berani melawan aturan dari Allah subhanahu wataa’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi pria yang mukmin dan tidak (pula) bagi wanita yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan (aturan), aka ada bagi mereka pilihan (aturan yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Naturalisasi kesombongan seperti yang dicontohkan Sukmawati dan para hijab-phobia dianggap sebagai ke-ngawur-an pemikiran yang membahayakan para muslimah awam. Para ulama dan umara (pemerintah) Indonesia pun kini dianggap semakin besar PR-nya dalam melindungi kaum wanita, setelah Sukmawati dan para hijab-phobia semakin berani memperlihatkan kesombongan pemikirannya. Wallahua’lam.*
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo